
PROBOLINGGO, MADUTV – Di Pondok Pesantren Nurul Qadim, Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton, Para santri justru adu nyali di gelanggang Pencak Dor tarung bebas khas pesantren yang membangkitkan semangat juang dan adrenalin.
Acara bertajuk “Gebyar Pencak Dor: Di Atas Lawan, Di Bawah Kawan” ini digelar oleh PCNU dan PC Pagar Nusa Kota Kraksaan dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional. Ratusan penonton memadati lapangan pesantren yang berubah jadi arena adu ketangkasan para pendekar muda dari berbagai daerah.
Ketua PCNU Kota Kraksaan sekaligus Pengasuh Ponpes Nurul Qadim, K.H. Hafidzul Hakiem Noer atau akrab disapa Nun Hafizd, menegaskan bahwa Pencak Dor bukan sekadar duel fisik, tapi simbol keberanian dan warisan pesantren yang harus dirawat.
Ini tradisi kita. Ada unsur tarung, tapi tetap mengedepankan keselamatan. Ada empat wasit, lengkap dengan sarung tangan dan pelindung gigi. Santri itu bukan cuma baca kitab, tapi juga bisa bertarung dengan adab,” tegasnya.
Nun Hafizd juga mengingatkan bahwa santri punya sejarah panjang dalam perjuangan bangsa.
Yang menurunkan bendera Belanda itu santri. Yang membunuh Jenderal Mallaby juga santri. Artinya, santri itu pejuang bangsa,” ujarnya penuh semangat.
Ia berharap ajang Pencak Dor bisa terus digelar setiap tahun sebagai wadah silaturahmi dan pelestarian budaya pesantren.
Sementara itu, Ketua Lembaga Pencak Silat NU Kota Kraksaan, Nun Ahsan Abdillah Wahid atau Nun Adil, menilai ajang ini bukan hanya hiburan, tapi juga upaya penjaringan atlet profesional.
Kita ingin Pagar Nusa punya petarung yang bisa tampil di tingkat nasional dan internasional. Tapi tetap, nilai utamanya adalah silaturahmi dan menjaga marwah pesantren,” jelasnya.
Salah satu peserta yang menyita perhatian malam itu adalah Simson Wandik, petarung asal Papua. Meski napasnya masih berat usai bertarung, Simson mengaku bangga bisa tampil di ajang Pencak Dor.
Lebih baik satu lawan satu di arena daripada tawuran. Ini tempat belajar dan berprestasi,” ujarnya mantap.
Setiap pertarungan selalu diakhiri dengan jabatan tangan dan pelukan antarpetarung. Semboyan “Di Atas Lawan, Di Bawah Kawan” bukan hanya slogan tapi napas dari seluruh rangkaian acara.
Malam itu, tidak ada yang pulang sebagai musuh. Mereka pulang sebagai kawan seperguruan, sebagai santri, dan sebagai penjaga tradisi luhur pesantren. (Gus)


