
Dalam peta peradaban Indonesia, pesantren tidak sekadar merupakan lembaga pendidikan keagamaan tradisional, melainkan sebuah subkultur yang kompleks dengan sistem nilai, hierarki, dan relasi sosial yang khas.
Momentum Hari Santri 2025, Kyai dan santri harus bisa menjawab dinamika transformasi pesantren dalam menghadapi gelombang digitalisasi, dengan menyoroti peran sentral kyai dan santri sebagai aktor-aktor utama. Gelombang transformasi teknologi tidak hanya mengubah metode pembelajaran, tetapi juga merekonfigurasi hubungan tradisional antara kyai sebagai pemegang otoritas keilmuan dan santri sebagai pencari ilmu.
Otoritas Keilmuan Kyai di Era Digital: Pergeseran dan Rekonfigurasi Dalam struktur pesantren tradisional, kyai menempati posisi sentral sebagai sumber otoritas keilmuan agama. Relasi kyai-santri dibangun melalui model “hubungan guru-murid” yang intensif dan personal, dimana transfer ilmu tidak hanya terjadi melalui pengajaran formal tetapi juga melalui keteladanan hidup (uswah hasanah) dalam keseharian.
Namun, era digital telah membawa perubahan mendasar dalam konfigurasi otoritas keilmuan ini. Santri kini dapat mengakses berbagai sumber ilmu agama secara mandiri melalui internet, maupun dari ulama yang mungkin belum pernah mereka temui secara fisik.
Fenomena ini menciptakan apa yang dalam sosiologi pengetahuan disebut “demokratisasi otoritas keilmuan”, dimana akses terhadap pengetahuan agama tidak lagi menjadi monopoli eksklusif hanya dari kyai.
Seorang santri di pesantren terpencil kini bisa mempelajari tajwid dari qari Mesir ternama melalui kanal YouTube, atau mengunduh kitab tafsir langka tanpa harus menunggu pengajaran dari kyainya.
Namun, demokratisasi ini bukannya tanpa masalah. Hilangnya interaksi langsung antara guru dan murid dalam pembelajaran tilawah juga berpotensi mengikis pemahaman mendalam tentang ilmu tajwid dan maqām yang selama ini diperoleh melalui contoh langsung dan koreksi personal.
Menghadapi realitas baru ini, kyai dituntut untuk melakukan reposisi peran dari sebagai satu-satunya sumber ilmu (the sole source of knowledge) menjadi pemandu dalam belantara informasi digital (the guide in the digital jungle).
Otoritas tidak lagi dianggap remeh, melainkan harus terus-menerus dipertahankan dan dibangun melalui kedalaman ilmu, keteladanan, dan kemampuan memandu santri menyaring arus informasi digital.
Santri: Identitas di Dua Dunia Kehidupan santri kini terjebak di antara dua dunia, yakni dunia nyata pesantren yang kental dengan nilai kebersamaan, kekhusyukan, dan diskusi tatap muka (seperti tradisi halaqah), dan dunia virtual yang menawarkan kemudahan, kecepatan, dan keterhubungan tanpa batas.
Teknologi ibarat pedang bermata dua bagi santri. Pada mata pedang yang positif, teknologi membuka peluang besar untuk mendukung aktivitas dan dakwah. Banyak santri yang kini aktif menyebarkan konten-konten religius yang moderat dan mencerahkan, menjadi agen “perubahan” di ruang digital. Kemudahan mengakses sumber belajar online juga memperkaya wawasan keilmuan mereka.
Sebaliknya, mata pedang yang negatif membawa ancaman terhadap nilai-nilai fundamental pesantren. Kecanduan media sosial dapat mengikis waktu dan konsentrasi santri dalam mengkaji kitab.
Interaksi sosial langsung yang menjadi tulang punggung pembentukan akhlak mulai berkurang, digantikan oleh obrolan ringan di ruang virtual . Yang lebih berbahaya, komunikasi tulisan yang miskin ekspresi di media digital rawan memicu salah paham, padahal perbedaan pendapat dalam diskusi tatap muka biasanya dapatdiselesaikan dengan musyawarah dan membaca bahasa tubuh .
Tantangan terbesar santri adalah menjaga keseimbangan: bagaimana memanfaatkan segala kemudahan teknologi tanpa kehilangan “ruh” dan adab sebagai pencari ilmu dalam tradisi pesantren.
Digitalisasi sebagai Instrumen Transformasi dan Tantangan Eksistensial Konferensi Internasional Transformasi Pesantren (ICTP) 2025, menegaskan pentingnya transformasi total pesantren agar lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan berdaya saing dalam pembangunan nasional .
Forum yang mengusung tema “Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas: Menyatukan Tradisi, Inovasi, dan Kemandirian” ini menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis, termasuk integrasi tradisi keislaman dengan keilmuan modern, digitalisasi, serta tata kelola kelembagaan yang lebih profesional .
Dalam praktiknya, transformasi digital di pesantren mewujud dalam berbagai bentuk, mulai dari adopsi sistem pembelajaran daring (e-learning & LMS), dashboard terintegrasi untuk administrasi, hingga pembayaran cashless menggunakan QRIS di kantin maupun dilembaga ekonomi pesantren.
Digitalisasi tidak hanya sekadar soal efisiensi administratif, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk membangun kemandirian ekonomi pesantren. Namun, di balik optimisme transformasi digital, pesantren menghadapi tantangan eksistensial yang kompleks.
Lonjakan jumlah pesantren dari 32.000 menjadi lebih dari 40.000 dalam tiga tahun terakhir, sebagaimana diungkapkan dalam forum ICTP 2025, mengundang kekhawatiran terkait pengaburan kualitas dan munculnya lembaga yang hanya berorientasi pada kepentingan pragmatis atau politis .
Tantangan ini merefleksikan ketegangan antara modernitas dan tradisi yang khas dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat.Konfigurasi Baru Relasi Sosial Pesantren dalam Bingkai Masyarakat Digital Transformasi digital tidak hanya mengubah relasi kyai-santri dalam transfer ilmu, tetapi juga merekonfigurasi jaringan sosial pesantren yang lebih luas.
Digitalisasi memungkinkan terbentuknya jejaring alumni yang lebih terintegrasi, memperluas keterlibatan wali santri dalam monitoring perkembangan anaknya, dan membuka akses yang lebih besar terhadap beasiswa pendidikan tinggi
Dalam perspektif sosiologis, ini merepresentasikan transformasi dari “komunitas tertutup” menuju “jejaring terbuka” dimana batas-batas pesantren menjadi lebih permeabel terhadap pengaruh eksternal.
Konfigurasi baru ini memiliki implikasi mendalam bagi posisi pesantren dalam landskap sosial Indonesia. Sebagai salah satu pilar utama menuju visi Indonesia Emas 2045, pesantren tidak hanya dituntut untuk menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu agama secara mendalam, tetapi juga sumber daya manusia yang mampu bersaing secara global, menguasai teknologi, dan berkontribusi dalam pembangunan nasional .
Dengan kata lain, pesantren berada pada persimpangan antara mempertahankan identitas kulturalnya dan menjawab tuntutan zaman.Menuju Sintesis Kreatif antara Tradisi dan Modernitas Transformasi pesantren di era digital merupakan fenomena multidimensi yang melibatkan dialektika kompleks antara tradisi dan modernitas, otoritas dan demokratisasi, spiritualitas dan
efisiensi teknis.
Tantangan terbesar yang dihadapi pesantren bukanlah terletak pada adopsi teknologi itu sendiri, melainkan pada kemampuan menciptakan sintesis kreatif antara warisan tradisi yang kaya dengan tuntutan modernitas yang tak terelakkan.
Kyai sebagai pemegang otoritas tradisional harus bertransformasi menjadi pemandu di era digital, sementara santri perlu mengembangkan kecerdasan spiritual dan digital secara simultan. Teknologi, dalam perspektif ini, bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk memperdalam pemahaman keagamaan dan memperluas kontribusi sosial pesantren.
Pada akhirnya, kemampuan pesantren untuk menavigasi perubahan ini akan menentukan perannya yang vital dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045—masa depan Indonesia yang tidak hanya maju secara material, tetapi
juga bermartabat secara spiritual. (Sutrisno, S.I.Kom Mahasiswa Magister Sosiologi Fisipol UNESA)