Paksa Kaum Difabel Terus Berkarya, Batik Netra Jadi Sarana Tetap Terampil Dan Mendapatan Penghasilan Mandiri
Sejak pandemi corona merebak di indonesia, seluruh elemen masyarakat merasakan imbasnya, terutama di sektor perekonomian. Kondisi ini, juga terjadi pada warga penyandang disabilitas. Selain kehilangan mata pencaharian, mereka juga mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Berkat kegigihan sejumlah orang yang peduli dengan nasib kaum difabel, para penyandang tuna netra ini dapat kembali berkarya, dan mendapatkan sedikit pemasukan, demi mampu bertahan hidup.
Di omah disabilitas di kawasan puncak tidar Kota Malang inilah, secara periodik digelar pelatihan kketerampilan khusus bagi penyandang disabilitas, khususnya mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan, atau tuna netra. Pelatihan membuat kain batik ini, dimulai sejak 2 bulan silam, atau sejak pandemi covid 19 merebak di indonesia .
Awalnya, Adi Gunawan institute yang menjadi pusat berkumpulnya warga tuna netra, menggelar pelatihan batik netra. Pelatihan ini, menjadi sarana pengajaran bagi penyandang disabilitas yang membutuhkan keterampilan, dan kehilangan mata pencaharian akibat pandemi.
Selama ini, mayoritas diantara mereka, bekerja sebagai lelaku jasa pijat. Sayangnya, pandemi corona mengubah seluruh cara hidup masyarakat, termasuk mengurangi kontak fisik dengan orang sekitar.
6 orang tuna netra dari malang dan sekitarnya, menjadi siswa pertama mereka. Bertambah hari, jumlah tersebut berlipat ganda. Dari 100-an anggota tetap lembaga ini, baru sebagian kecil saja yang tekun dan kontinu mengikuti setiap pelatihan.
Tidak seperti kain batik yang banyak beredar dipasaran, batik netra karya mereka ini , lebih menggunakan motif jumput. Kain putih yang menjadi sarana, dilipat dan ditali sedemikian rupa . Beragam warna disemprotkan ke setiap sudut kain, agar mendapatkan motif tertentu yang diinginkan .
Pada awalnya, mereka kesulitan memasarkan hasil karya mereka keluar komunitas, namun landasan semangat dan kegigihan mereka bertahan hidup lah, yang membukakan pintu terjualnya karya-karya original tersebut.
Kini, kain batik netra tersebut, mulai banyak dilirik konsumen dari sejumlah daerah, dengan harga jual antara 85 ribu rupiah hingga ratusan ribu rupiah per lembar. Hanya saja, modal usaha serta masih sedikitnya tenaga kerja dari para penyandang netra yang turut aktif, menjadi kendala utama belum maksimalnya tingkat produksi.
Mandiri, dan menghasilkan sedikit rupiah demi memenuhi kebutuhan hidup, selama serta paska pandemi corona berlangsung.