Pacitan Rawan Tsunami, Masyarakat Perlu Pahami Konsep Evakuasi Mandiri

Jakarta – Wilayah Pacitan, Provinsi Jawa Timur, merupakan daerah rawan gempa dan tsunami sehingga masyarakat perlu memahami konsep evakuasi mandiri agar selamat dari ancaman bencana tersebut.

“Sebagai upaya mitigasi, ada banyak upaya yang dapat terlaksana untuk mencegah korban saat terjadi tsunami. Masyarakat perlu memahami konsep evakuasi mandiri,  karena merupakan jaminan keselamatan yang sudah terbukti efektif.” Kata Koordinator Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono di Jakarta, Selasa.

Ia mencontohkan seperti evakuasi mandiri lewat kearifan lokal “Smong” Di Pulau Simeulue Provinsi Aceh. Terbukti efektif mampu menyelamatkan masyarakat di pulau tersebut sejak ratusan tahun.

Karena saat terjadi gempa kuat, saat itu juga masyarakat pesisir harus segera menjauh dari pantai. Untuk mendukung efektivitas proses evakuasi, maka jalur evakuasi harus sudah siap, rambu evakuasi sudah terpasang secara permanen.

“Adanya kelengkapan fasilitas ini membuat masyarakat yang melakukan evakuasi akan dengan segera mencapai titik kumpul. Tempat evakuasi sementara di daerah yang aman,” katanya.

Di samping itu, masyarakat juga tidak boleh abai dengan peringatan tsunami yang BMKG sebar menggunakan multimoda diseminasi. Masyarakat harus memiliki sikap swasadar informasi gempa dan peringatan dini tsunami serta memiliki respon yang cepat untuk segera melakukan evakuasi, karena golden time yang cukup singkat.

Selain itu, pemerintah daerah juga harus sigap dan cepat dalam merespon peringatan dini tsunami untuk selanjutnya mengaktivasi sirine untuk perintah evakuasi masyarakat pesisir agar segera menjauh dari pantai jika terjadi gempa berpotensi tsunami.

Lebih lanjut, ia menjelaskan jika karena satu hal sebagian warga terlambat mengetahui adanya peringatan tsunami, maka penting bagi masyarakat memahami cara selamat dengan melakukan evakuasi vertikal secepatnya meskipun harus memanjat pohon, memanjat bangunan tinggi (tower) atau memanjat bangunan tinggi lainnya yang terdekat.

“Ini adalah beberapa cara selamat dalam menghadapi tsunami,” kata Daryono.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada 4 Januari 1840 terjadi Gempa Jawa yang memicu terjadinya tsunami di Pacitan, Selanjutnya pada 20 Oktober 1859, terjadi lagi gempa besar di Pulau Jawa yang juga menimbulkan tsunami menerjang Teluk Pacitan, menewaskan beberapa orang awak kapal.

Gempa besar Jawa kembali terjadi pada 11 September 1921 berkekuatan 7,6. Selanjutnya, Pacitan kembali terguncang oleh gempa besar pada 27 September 1937. Dampak gempa ini mencapai skala intensitas VIII-IX MMI menyebabkan 2.200 rumah roboh dan banyak orang meninggal.

Sebagai daerah yang berhadapan dengan zona sumber gempa megathrust, wilayah Pacitan merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Hasil monitoring BMKG terhadap aktivitas kegempaan sejak 2008 mencatat di wilayah selatan Pacitan beberapa kali terbentuk klaster seismisitas aktif. Meskipun klaster pusat gempa yang terbentuk tidak berakhir dengan terjadinya gempa besar.

Wilayah selatan Pacitan merupakan bagian dari zona aktif gempa di Jawa Timur yang mengalami peningkatan aktivitas kegempaan. Di wilayah ini pada beberapa tahun terakhir sering terjadi aktivitas gempa signifikan yang guncangannya masyarakat rasakan.

Berdasarkan hasil kajian, kawasan selatan Jawa Timur tersebut memiliki potensi magnitudo maksimum gempa megathrust 8,7. Nilai magnitudo gempa tertarget ini oleh tim kajian BMKG dijadikan sebagai data pemodelan tsunami untuk wilayah Pacitan.(*)