Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui adanya kekhilafan dalam proses penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Henri Alfiandi dan Koordinator SAR (Koorsmin) Kabasarnas Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap yang mencapai total Rp 88,3 miliar. Atas kekhilafan ini, KPK pun dengan tulus meminta maaf kepada pihak yang terdampak.
Penetapan keduanya sebagai tersangka kasus ini terjadi setelah menerima protes dari Pusat Polisi Militer TNI (Puspom TNI). Menurut Puspom, mekanisme penetapan sebagai tersangka merupakan kewenangan TNI dan seharusnya menjadi ranah hukum yang dikelola oleh TNI, bukan KPK.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan operasi tangkap tangan terhadap Kepala Basarnas, tim KPK sebenarnya menemukan adanya keterlibatan anggota TNI. Ketika pihaknya menyadari hal tersebut, KPK memahami bahwa terdapat potensi kekhilafan atau kelalaian dalam proses tersebut. Oleh karena itu, demi menjaga integritas penegakan hukum, KPK sepenuhnya mendukung agar kasus ini diserahkan kepada pihak TNI yang berwenang mengelolanya.
Dugaan suap sebesar Rp 88,3 miliar tersebut diduga merupakan bagian dari fee yang diperoleh dari sejumlah proyek hasil lelang di Basarnas. Diperkirakan bahwa ada fee sebesar 10 persen dari setiap proyek yang terlibat dalam dugaan kasus korupsi tersebut.
KPK menyatakan komitmen penuh untuk terus mengungkap dan memberantas korupsi di Indonesia tanpa pandang bulu. Dengan semangat kebersamaan, KPK akan bekerja sama dengan pihak TNI untuk menyelesaikan kasus ini secara transparan dan profesional.
Semua pihak diharapkan dapat memberikan dukungan dan kerjasama guna memastikan penegakan hukum yang adil dan bertanggung jawab demi keadilan bagi masyarakat dan negara. Meskipun terdapat kekhilafan dalam proses ini, KPK berkomitmen untuk tetap menjadi garda terdepan dalam memerangi korupsi demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan berintegritas.