Jakarta – Ajakan untuk tidak membaca, mengunggah, dan membagikan berita tentang Covid-19 beredar dalam beberapa media sosial sepekan terakhir. Seruan tersebut tersampaikan melalui poster digital dan teks tertulis. AJI menemukan setidaknya 9 poster digital dengan desain mirip. Poster tersebut mengatasnamakan warga Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Purbalingga, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Majalengka, dan Cirebon.
Seruan dalam bentuk tertulis dengan pesan serupa juga menyebar melalui grup-grup WhatsApp. Tulisan tersebut mengklaim sejumlah negara yang melarang warga negaranya mengirimkan berita tentang Covid-19 melalui media sosial. Antara lain, Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Australia. Seruan melalui teks tersebut juga meminta agar pesan tersebut disebarkan sebanyak-banyaknya ke teman dan saudara.
Ada kesamaan pesan agar masyarakat tidak membaca, mengikuti informasi dan berita tentang Covid-19 di media. Anggapannya, bisa menganggu imun. AJI menilai hal ini merupakan bagian dari propaganda keliru yang bisa membahayakan keselamatan publik. Hal ini karena ajakan tersebut tersampaikan saat wabah terjadi meluas dan menyebabkan warga sulit mendapatkan layanan fasilitas kesehatan yang sudah penuh pasien. Ajakan ini bisa menyebabkan masyarakat terjebak pada rasa aman palsu (toxic positivity). Justru ini akan membuat mereka abai dengan protokol kesehatan. Informasi yang akurat mengenai skala penularan dan dampak dari pandemi ini justru warga butuhkan untuk membangun kesiapsiagaan.
Tindakan publik mengunggah berita itu juga bagian hak kebebasan berekspresi yang telah UUD jamin dalam Pasal 28F. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Menyikapi hal tersebut, AJI Indonesia menyatakan beberapa hal. 1) Mengecam penyebaran seruan tidak membaca, mengunggah, dan membagikan berita tentang Covid-19 karena dapat membahayakan keselamatan publik. 2) Seruan ini merupakan bentuk pelecehan terhadap jurnalis dan karya jurnalistik. Hal tersebut karena menilai media sebagai penyebab turunnya imun seseorang dalam situasi pandemi. 3) AJI juga melihat seruan ini sengaja sebagai propaganda untuk membungkam upaya kritis media dalam memberitakan fakta-fakta mengenai pandemi dan penanganannya di Indonesia. 4) Meminta Dewan Pers segera menyikapi serangan-serangan terhadap jurnalis dan pers nasional dalam pandemi Covid-19 yang semakin masif dan mengancam kebebasan pers.\
Awal bulan lalu (5/7), kepolisian Indonesia atau Humas Polda Bengkulu memberikan stempel hoaks terhadap berita 63 pasien meninggal dunia. Kabarnya kasus ini akibat kelangkaan oksigen. Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers perlu berkoordinasi secepatnya dengan aparat penegak hukum untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis yang mengancam kebebasan pers dan membahayakan keselamatan publik. (AJI/sm/red)